PENDIDIKAN NILAI-NILAI AKHLAK

 Oleh: Zuhri, S.Sos.I, M.Pd.I
Dosen  Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Azhaar danPengurus LBM NU Kota Lubuklinggau


"Meskipun kewajiban seorang bapak menjaga anaknya dari neraka dunia, akan tetapi, menjaganya dari neraka akhirat jauh lebih utama. Yaitu dengan cara mendidik, melatih, dan mengajarinya tentang akhlak yang baik" (Iman Al-Ghazali).
       
        Islam mengajarkan bahwa tujuan pendidikan bukan hanya bertumpu pada pembentukan anak pinter, dan cerdas, serta sehat secara jasmani. Akan tetapi, pendidikan itu harus menyentuh tiga aspek utama, yakni aspek jismiyyah, 'aqliyyah, dan khuluqiyah ruhiyyah. Atau menurut istilah Benyamin S. Bloom, kognitif, afektif, dan psikomotor.  Islam melihat pendidikan secara integral, yaitu upaya dalam rangka memberi pengaruh-pengaruh yang baik supaya bisa menolong anak didik agar mampu untuk menumbuh kembangkan potensi-potensi badan, akal, dan akhlak. Dan agar anak didik mampu memilah dan memilih mana yang terbaik untuk kehidupan pribadi dan sosialnya, tujuan akhirnya adalah supaya ia mampu secara pelan-pelan untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat serta berguna bagi agama, negara, dan umat secara keseluruhan.

         Al-Syaibany mengemukakan, bahwa pendidikan adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitar. Lebih jauh lagi Muhammad Fadhil al-Jamaly; mendifinisikan pendidikan sebagai upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak peserta didik untuk hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan akan terbentuk pribadi yang sempurna, baik yang berkaitan dengan potensi akal, perasaan, maupun perbuatannya. Ahmad D. Marimba; mengemukakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama (insan kamil) (Nata, 2005: 9).  Ahmad Tafsir mendifinisikan pendidikan sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam (1992: 32).

         Dari beberapa ungkapan di atas dapat di simpulkan bahwa pendidikan adalah upaya mempersiapkan dan membentuk pribadi Muslim yang sempurna dalam segala aspek kehidupannya, dan menurut pase umur (dan perkembangan jiwa dan akalnya), untuk kemaslahatan dunia dan akhirat, sesuai dengan prinsip, nilai, dan sistem pendidikan yang diajarkan Islam. Atau dengan bahasa lain, bahwa pendidikan adalah upaya yang berkesinambungan dalam pembentukan atau mewujudkan pribadi Muslim yang sempurna dan sehat, baik akal, ruh, maupun fisiknya, agar bisa hidup sesuai dengan aturan dan ajaran Islam.

         Dari penjelasan di atas timbulallah pertanyaan. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Tarbiyah khuluqiyah/akhlak atau pendidikan nilai-nilai? Tarbiyah khuliqiyah/akhlak adalah pekerjaan dalam rangka memperbaiki jiwa anak dan memperindah akhlaknya serta membiasakan mereka dengan sifat-sifat yang baik dan mulia, dengan itu mereka akan bisa hidup di tengah-tengah masyarakat dengan aman, tentram, dan saling ridha meridhai. Dan bukanlah Tarbiyah khuluqiyah/akhlak hanya terfokus untuk menghafal faedah-faedah kebaikan, fadilah-fadilah dari suatu pekerjaan, keburukan dan lain sebagainya. Akan tetapi, dalam Tarbiyah khuluqiyah/akhlak terkandung unsur pengaplikasian langsung, melatih anak dengan kebiasaan-kebiasaan, dan sifat-sifat yang baik setiap hari. Pelatihan atau pembiasaan ini harus berlangsung secara terus menerus dari waktu-kewaktu dan dari masa kemasa, sampai kebiasaan-kebiasaan yang baik itu menghunjam dalam dada dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diri si anak sepanjang hayatnya. Maka dari itu, wajib hukumnya bagi seorang guru untuk memasukkan unsur-unsur akhlak yang mulia, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Apakah itu di rumah, di sekolah, ataupun di masyarakat. Oleh karena itu, semua pelajaran yang diajarkan di sekolah harus dimasukkan unsur-unsur Tarbiyah khuluqiyah/akhlak, sebagaimana kewajiban seorang guru menjadikan akhlak sebagai tujuan akhir dari semua pendidikan yang ia lakukan.

         Tarbiyah khuluqiyah (pendidikan akhlak) atau nilai-nilai sebagaimana diungkapkan KH. Moh. Idris Jauhari (almarhum), minimal harus mengandung empat unsur. Pertama, menanamkan keimanan yang benar atau akhlak terhadap Allah.  Maksudnya adalah, membiasakan dan melatih anak untuk selalu mentauhidkan Allah Swt, mencintai Rasul-Nya, dan berpegang teguh dengan tali Allah yang kuat, sehingga tampak dari mereka keimanan yang benar baik dari perkataan dan perbuatannya, yang pada akhirnya mereka akan tunduk dengan hukum-hukum dan syari'at agama.

         Kedua, membentuk pribadi ideal atau akhlak terhadap diri sendidri. Ini yang dimaksud dengan meluruskan tabiat atau watak anak dan kecenrungannya, kemudian melatih mereka dengan kebiasaan dan sifat-sifat yang baik dalam kehidupan pribadinya. Seperti jujur, amanah, istiqomah dan lain sebagainya.

         Ketiga, menanamkan kecintaan terhadap orang lain atau akhlak terhadap manusia. Ini dimaksud melatih anak untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban terhadap masyarakat dan membiasakan mereka untuk menghormati hak-hak orang lain serta tunduk terhadap aturan-aturan yang berlaku di masyarakat. Maka dari itu, insya Allah pekerjaaan mereka akan bermanfaat bagi masyarakat.

         Keempat, menanamkan cinta tanah air. Ini adalah pekerjaan untuk menumbuhkan tanggungjawab dalam diri anak untuk memajukan negaranya dan mengembangkannya. Termasuk di dalamnya adalah mengajarkan mereka untuk membela negaranya dari musuh dan semua anasir-ansir yang merusak, tentunya dengan segala sesuatu yang memungkinkan, baik secara materi ataupun maknawi.

         Kelima, menanamkan kecintaan terhadap lingkungan. Ini artinya, kita biasakan anak-anak didik untuk mencintai lingkungan serta menjaganya. Baik itu hewan, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda mati.

          Untuk itu, seharusnya setiap guru benar-benar menjadi guru yang digugu dan ditiru dalam segala aspek kehidupannya, baik di sekolah, di rumah, dan di masyarakat. Ia bukan hanya mentranfer ilmu dari otaknya ke otak anak, akan tetapi yang paling pokok adalah ia sukses menjadi teladan yang baik bagi seluruh siswa di mana ia mengajar. Termasuk di dalamnya adalah mengajari anak untuk bersikap jujur dalam perkataan dan perbuatan, di manpun dan sampai kapnpun. Contohnya adalah mengajari mereka untuk jujur dalam ujian, mengajari mereka untuk selalu mengedepankan kejujuran dalam segala hal.

         Sudah semestinya, kita melihat kembali pendidikan yang sedang kita lakukan di sekolah manapun kita berada, baik negeri maupun swasta, sekolah keagamaan ataupun sekolah umum. Karena kecendrungan dunia pendidikan kita selama ini lebih mengarah kepada sesuatu yang pragmatis. Contoh kasus kelululusan dalam ujian. Seharusnya kita sadar sesadar-sadarnya bahwa tugas kita adalah mendidik anak didik kita dengan nilai-nilai yang baik. Firman Allah, "Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang sanagt besar". (QS. Luqmân/31 :13).

      Ayat ini menjelaskan bahwa pendidikan yang sebenarnya adalah pendidikan yang akan membawa peserta didiknya hanya menyembah kepada Allah Swt. Wallahu a'lam bis-shawab.
    Sudah dimuat di Media Musirawas, Jum’at Tanggal 21 Mei 2010 M.
[Baca Selengkapnya]

GUNAKAN WAKTU KOSONGMU UNTUK MEMBACA

Oleh: Zuhri, S.Sos.I, M.Pd.I
Dosen  Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Azhaar Lubuklinggau

"Di antara (tanda) kebaikan keislaman seseorang adalah ia meninggalkan perkara yang tak berguna baginya". (HR. Tirmidzi).

         Banyak hal-hal positive yang dapat kita kerjakan untuk mengisi liburan. Di antaranya adalah membaca. Karena membaca adalah kuncinya ilmu, maka barang siapa ingin menjadi 'alim (orang yang berilmu) ia harus banyak membaca. Dalam membaca, kita harus juga bisa memilih apa yang baik untuk dibaca, dan mengerti apa yang kita baca. Karena sesungguhnya ilmu adalah amat luas, sedangkan umur kita amat pendek.

         Ibnu al-Jahm berkata, "Jika kantuk datang menyerang sebelum waktunya tidur maka saya akan mengambil salah satu buku dari  buku-buku hikmah. Dengan buku itu saya merasakan adanya gelora untuk mendapatkan nilai-nilai dan adanya kecintaan terhadap perbuatan-perbuatan baik yang menyeruak ketika saya mendapatkan sesuatu yang menarik, dan yang meliputi hati dengan kebahagiaan. Perasaan hati ketika sangat senang membaca dan belajar akan lebih punya kekuatan untuk membangunkan daripada suara keledai dan bunyi reruntuhan yang mengejutkan". (Al-Qarni, 2004: 121).

         Ulama-ulama terdahulu kita, amat sekali senang membaca walaupun dalam keadaan sempit, dan susah untuk mendapatkan buku-buku. Dan ada sebagian ulama yang tidak meninggalkan hobi mereka dalam membaca meskipun mereka dalam keadaan sakit. Syekh Ibnu Taimiyah apabila sakit atau kena flu, beliau selalu meletakkan buku di atas kepalanya. Apabila beliau merasakan ada keringanan dari sakitnya beliau membacanya, dan apabila kecapean maka diletakkanlah buku itu. Pada suatu hari dokter masuk ke ruang di mana beliau di rawat, dan dia melihat apa yang Syekh Ibnu Taimiyah lakukan. Kemudian dokter itu berkata kepadanya: "Tidak seharusnya engkau melakukan ini, engkau telah melemahkan dirimu sendiri, dan mengulur waktu kesembuhanmu". Kemudia beliau menjawab: "Bukankah jiwa apabila gembira dan bahagia akan menjadi kuat maka akan menolak penyakit?" Dokter itu kemudian menjawab: "Ia". Kemudian beliau berkata: "Sesungguhnya diriku bahagia dengan ilmu, menemukan releksasi dan kekuatan untuk menangkal penyakit. Maka ta'jublah dokter itu, dan ia sependapat dengan kebenaran apa yang disampaikan oleh Syekh Ibnu Taimiyah.

         Seharunsnya bagi seoarang pelajar minimal ada perpustakaan kecil di rumahnya. Di mana ia kumpulkan beberapa literatur-literatur penting sesuai dengan bidang keilmuan kecendrungannya. Begitu juga, ia bisa mengoleksi buku-buku, majalah-majalah penting yang suatu saat nanti akan diperlukan untuk pengembangan keilmuannya serta pekerjannya. Senang membaca dan membuat perpustakaan-perpustakaan khusus, merupakan kecintaan para ulama terdahulu kita. Sebagai bukti, diriwayatkan bahwa buku al-Imam Ahmad Ibnu Hambal ra mencapai beban atau muatan 12 Unta. Sedangkan 'Ali Ibnu Ahmad al-Amadi yang wafat tahun 710 H, merupakan pemilik sebuah perpustakaan besar pada zamannya.

         Ada sebuah cerita berkenaan dengan kecintaan para ulama terdahulu akan buku. Suatu hari, Al-Sabai mendapat perintah untuk menghadap amirul mukminin Harun Ar-Rasyid. Al-Sabai kemudian berkata kepada ajudan amirul mukminin, "Wahai ajudan amirul mukminin, sampaikanlah kepada beliau bahwa Sabai tidak dapat sesegera mungkin untuk menghadap kepadanya. Saya harus menyelesaikan perbincangan yang sangat mengasyikkan ini hingga tuntas." Mendengar jawaban Sabai, sang ajudan pergi untuk melapor kepada amirul mukminin. Tak beberapa lama, sang ajudan tiba di kediaman amirul mukminin. Akan tetapi, kedatangan sang ajudan tanpa didampingi Al-Sabai membuat amirul mukminin bingung. Ia pun bertanya kepada ajudannya, apa yang terjadi? Mengapa kau berjalan seorang diri? Di manakah Al-Sabai? Atau ia sedang sakit sehingga tidak bisa menghadap diriku?" Ajudanpun menjawab pertanyaan amirul mukminin yang bertubi-tubi, "Amirul Mukminin, Al-Sabai berpesan bahwa dirinya tidak bisa segera mengahadap amirul mukminin karena harus menyelesaikan perbincangannya yang sangat asyik hingga tuntas."

         Mendengar jawaban sang ajudan, amirul mukminin semakin penasaran. "Wahai Ajudan, di negeri ini adakah orang yang lebih penting selain diriku sehingga Al-Sabai mengabaikan perintahku?" tanya amirul mukminin kepada ajudannya. "Sepanjang pengetahuanku tidak ada orang yang lebih penting selain Tuan," jawab ajudan dengan rasa hormat. Tiba-tiba, di tengah pembicaraan amirul mukminin dan ajudan, Al-Sabai datang dan berkata, "Wahai Amirul Mukminin, maafkanlah saya karena tidak segera menghadap Anda." Dengan perasaan kaget, sambil menoleh ke arah suara tersebut, amirul mukminin berkata, "Saudaraku, sepenting apa orang yang kau temui sehingga menangguhkan pertemuan denganku." Sambil berjalan menuju amirul mukminin, dengan tenang Al-Sabai menjawab, "Ia orang yang menyenangkan, juga membuat kita bisa menangis, tertawa, merenung, dan menambah wawasan, serta pikirannku." Mendengar Al-Sabai berbicara mengenai orang yang ditemuinya, amiruk mukminin semakin tertarik dan bertanya lagi kepada Sabai, "Siapakah orang yang kau temui itu Saudaraku?" Sabai pun menjawab, "Ia seperti guru yang tidak pernah berdusta dan keliru. Ia adalah buku." (Mustofa, 2007: 23).

         Aidh Al-Qarni, dalam buku laris manisnya "La Tahzan" mengungkapkan bahwa faedah membaca antara lain: Pertama, membaca dapat mengusir perasaan waswas, kecemasan dan kesedihan. Kedua, membaca dapat menghindarkan seseorang agar tidak tenggelam dalam hal-hal yang batil. Ketiga, membaca dapat menjauhkan kemungkinan seseorang untuk berhubungan dengan orang-orang yang menganggur dan tidak memiliki aktifitas. Keempat, membaca dapat melatih lidah untuk berbicara dengan baik, menjauhkan kesalahan ucapan, dan menghiasinya dengan balaghah dan fashahah. Kelima, Membaca dapat mengembangkan akal, mencerahkan pikiran, dan membersihkan hati nurani. Keenam, Membaca dapat meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan daya ingat dan pemahaman. Ketujuh, dengan membaca orang dapat mengambil pelajaran dari pengalaman orang lain, kebijaksanaan kalangan bijak bestari dan pemahaman ulama. Kedelapan, mematangkan kemampuan seseorang untuk mencari dan memproses pengetahuan, untuk mempelajari bidang-bidang pengetahuan yang berbeda dan penerapannya dalam kehidupan nyata. Kesembilan, menambah keimanan khususnya ketika membaca buku-buku karangan kaum muslimin. Sebab buku merupakan pemberi nasehat yang paling agung, merupakan pendorong jiwa yang paling besar, dan merupakan penyuruh kepada kebaikan yang paling bijaksana. Kesepuluh, membaca dapat membantu pikiran agar lebih tenang, membuat hati agar lebih terarah, dan memanfaatkan waktu agar tidak terbuang percuma. Kesebelas, membaca dapat membantu memahami proses terjadinya kata secara lebih detail, proses pembentukan kalimat, untuk menangkap konsep dan untuk memahami apa yang berada di balik tulisan. Seorang penyair berkata, kehidupan jiwa adalah konsep dan makna, bukan yang engkau makan dan minum. (2004:122-123).

         Anis Matta mengibaratkan orang yang tidak suka dan senang membaca, laksana orang yang masuk hutan belantara tanpa membawa peta. Dan orang itu pasti tersesat. Bahkan mungkin tidak bisa keluar kembali. Begitu juga kehidupan lanjutnya. Membaca adalah peta. Makin meyeluruh dan akurat peta yang kita miliki, makin cepat dan pasti kita sampai ke tujuan. (Tarbawi, 2008: 80).

`        Sungguh orang Islam yang tidak suka membaca, baik dalam artian sempit maupun dalam artian yang luas, keislamannya patut dipertanyakan. Karena Islam datang dan wahyu pertama kali yang turun adalah perintah membaca (iqra'). Wallahu a'lam bis- showab.
Sudah dimuat di Media Musirawas, Jum’at  Tanggal 18 Juni 2010 M.
[Baca Selengkapnya]

KONSEP PENDIDIKAN ISLAM

Oleh: Zuhri, S.Sos.I, M.Pd.I 
Dosen  Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Azhaar Lubuklinggau

"Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata." (QS. Al-Jumu'ah: 2)


         Syafii Maarif mengatakan bahwa pendidikan Barat saat ini hanya bertahta pada otak manusia, yang kurang menghiraukan keadilan dan nilai-nilai ilahiyah, sehingga hasilnya hanya dinikmati oleh sepertiga penduduk bumi. Sisanya, yang dua pertiga adalah dunia miskin. Oleh karena itu dibutuhkan suatu pendidikan yang "balance" (seimbang) antara akal dan batin yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan, dan dunia akan punya makna apabila orientasi keberhasilan adalah akhirat dalam arti yang tidak sempit. Generasi sekarang sedang menghadapi permasalahan yang kronis, yaitu terjadinya "Split Personality". Kondisi ini adalah suatu keadaan di mana tidak terjadinya integrasi antara otak dan hati. (Agustian, 2001: xiv). Pendidikan model mereka pada satu sisi telah berhasil mengembankan kemampuan intelektual yang sangat luar biasa, namun pada sisi lain, sama sekali tidak menyentuh aspek moral dan tingkah laku. Mereka pintar, tapi hatinya kosong dari nilai-nilai. Mereka kaya, tapi hatinya miskin. Itulah sekelumit masalah yang dialami oleh masyarakat modern.

         Islam mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk Allah yang termulia. Kemuliaan itu antara lain disebabkan Allah menciptakan manusia dengan bentuk fisik dan psikis yang sempurna. Akal dan ruh (psikis) adalah unsur terpenting sebagai pembeda antara manusia dengan hewan. Sebab itu pulalah Allah memberikan amanah (Al-Islam) kepada manusia. Sebab, manhajul hayah (system hidup) yang terkandung dalam ajaran Islam hanya mampu diemban dan diterapkan oleh makhluk yang berakal. Firman Allah:

"Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh". (QS. Al-Ahzab: 72)

         Sebaliknya, jika system hidup itu ditinggalkan, manusia secara otomatis hidup tanpa kendali yang alami. Maka secara thobi'i (alami), manusia menurut hawa nafsu hewani. Pada saat itulah derajat insaniyahnya terhapus dan hidup bagaikan hewan, atau lebih buruk dan lebih buruk lagi. Sebab orientasi hidupnya terfokus pada hal-hal yang rendah sebagaimana orientasi hewan, yakni seputar pemuasan nafsu perut dan farj (sexual). Kondisi masyarakat Islam saat ini yang nyaris amburadul dalam segala aspek kehidupan mereka adalah sebagai bukti kongret dari akibat jauhnya mereka dari system hidup tersebut.Itulah yang dimaksudkan Allah dalam firman-Nya:

"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna. Kemudian Kami kembalikan dia  kepada kondisi yang paling rendah. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya." (QS. At-Tiin : 4-6) Dan juga firman Allah:

"Dan orang-orang kafir (mengingkari ajaran Islam) itu, mereka (hanya bisa) bersenang-senang dan makan seperti halnya hewan makan. Dan neraka tempat tinggal mereka". (QS. Muhammad: 12)


         Sejarah manusia telah membuktikan, bahwa pembentukan watak manusia Islami itu hanya dapat melalui proses tarbiyah (pendidikan). Karena manusia dilahirkan dalam keadaan miskin; miskin harta, informasi, dan miskin ilmu. Sedangkan hawa nafsu selalu mendorongnya untuk bergerak aktif, tanpa melihat objek dan sasaran, dan tanpa peduli mana yang ditempuhnya.

         Di sinilah terlihat dengan jelas fungsi wahyu dan para Rasul Allah dalam menjaga gerak dan langkah hidup manusia agar tetap pada Shirothalmustaqim (jalan lurus). Sebab itu, setiap Rasul Allah  diutus ketika umat manusia sudah tidak lagi berjalan pada jalan yang lurus.

         Wahyu dan ajaran Rasul itu tidak mungkin dipahami dengan baik, sehingga berfungsi sebagai the way of life (jalan hidup) kecuali bila manusia mempelajarinya dengan proses yang memakan waktu yang cukup lama, dengan perlahan-lahan, adanya contoh tauladan yang berfungsi sebagai laboratorium, serta unsure lainnya. Proses inilah yang disebut dengan "tarbiyah Islamiyah" (Pendidikan Islam).

         Tarbiyah Islamiyah (Pendidikan Islam) adalah upaya untuk menumbuh kembangkan pemikiran manusia, mengatur tingkah laku dan perasaannya agar selaras dan sesuai dengan dasar bagunan agama Islam. Tujuannya adalah pengejawantahan tujuan-tujuan agama Islam itu sendiri dalam kehidupan seseorang, baik yang sifatnya individu maupun jama'ah atau social kemasyarakatan. Atau dengan kata lain, tujuan-tujuan agama Islam itu bisa teraplikasikan dalam semua aspek kehidupan.

         Maka dari itu, "tarbiyah Islamiyah" (Pendidikan Islam) merupakan sebuah proses pekerjaan yang berhubungan dengan penyiapan akal dan pikiran manusia serta perenungannya tentang alam dan kehidupan, dan tentang peran dan hubungannya  dengan dunia ini. Juga tentang berbagai aspek di mana manusia bisa bermanfaat terhadap alam dan dunia ini,  tentang maksud dari kehidupan  yang fana ini di mana manusia hidup di dalamnya, dan tentang tujuan hidup yang harus direalisasikan. (An-Nahlawi, 1979: 26).

         Abdul Munir Mulkhan mengunggkapkan, bahwa manusia perlu pendidikan iman dan tauhid yang bukan sekedar menghafalkan nama-nama Tuhan, malaikat, nabi atau rasul. Inti pendidikan Islam ialah penyadaran diri tentang hidup dan kematian, bagi tumbuhnya kesadaran ketuhanan. Dari kesadaran seperti ini baru bisa dibangun komitmen ritualitas atau ibadah, dibangun suatu hubungan social berdasar harmoni, dan akhlak social yang karimah. Tarbiyah Islamiyah merupakan pembinaan menuju apa yang dapat mewujudkan tujuan-tujuan mulia penciptaan manusia. Sedangkan aqidah merupakan landasan agamanya apabila sudah tertanam kokoh dan kuat ke dalam jiwa-jiwa serta hati-hati mereka. Sementara menanamkan dan menancapkan landasan-landasan (aqidah) ini ke dalam diri manusia merupakan tonggak yang kokoh dan merupakan basis yang pokok, di mana tujuan-tujuan itu di bangun di atasnya.

         Setiap Rasul melakukan hal itu, khususnya Nabi kita Muhammad saw. Tiga belas tahun lamanya, beliau mentarbiyah Shahabat di Makkah, denga menitik beratkan kepada hal-hal yang prinsipil dan fundamental, atau disebut dengan 'Aqidah dan 'ibadah. Hal itu bertujuan, agar iman dan kepribadian para Shahabat itu matang dan memilki kesiapan yang tinggi untuk menerima perintah dan larangan Allah 'azza wajalla. Akhirnya, lahirlah generasi "Khairu ummah" yang ditampilkan kepada manusia untuk menyaipaikan Al-Islam kepada segenap penjuru dunia ini.

         Sebab itu, dapat kita tarik kesimpulan bahwa Islam adalah konsep hidup manusia dan memiliki konsep tarbiyah (pendidikan) tersendiri yang sesuai dengan fitrah manusia. Konsep tarbiyah Islam bukan hanya berfungsi untuk memahami dan menerapkan ajaran-ajaran Islam. Melainkan berfungsi dalam skop yang lebih makro, yakni melahirkan sumber daya manusia Islami (SDMI) yang siap mengemban amanah "kholifatullah" di muka bumi ini, agar terwujud keadilan dalam segala aspek kehidupan manusia. Wallahu A'lam bi al-Showab.
Sudah dimuat di Media Musi Rawas, Jum’at Tanggal 19 Maret 2010 M.
[Baca Selengkapnya]

Hati-hati Membawa Hati

Oleh: Zuhri, S.Sos.I, M.Pd.I
Dosen  Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Azhaar Lubuklinggau


"Ingatlah bahwa dalam jasad itu ada sekerat daging, jika ia baik, baiklah jasad seluruhnya, dan jika ia rusak, rusaklah seluruhnya. Ingatlah, ia adalah hati". (HR. Bukhari dan Muslim).

         Hati adalah potensi manusia yang ketiga. Dalam bahasa Arab disebut "al-Qalbu". Sebagaimana kita ketahui bahwa anggota badan diciptakan Allah untuk suatu fungsi tertentu, sedangkan sakitnya anggota badan ialah apabila tidak berfungsi sebagaimana mestinya sehingga fungsi itu tidak muncul sama sekali atau muncul tetapi disertai semacam ketidakstabilan. Sakit tangan ialah ketidakmampuan untuk memegang, sakit kaki ialah ketidakmampuan untuk berjalan, dan sakit mata ialah ketidakmampuan untuk melihat. Demikian pula sakitnya hati ialah tidak berjalannya fungsi penciptaan hati; yaitu menyerap ilmu, hikmah, dan ma'rifah, mencintai Allah, ibadah kepada-Nya, merasakan kelezatan dengan mengingat-Nya, mengutamakan semua itu ketimbang semua syahwat, meminta bantuan semua syahwat dan organ untuk melaksanakan fungsi tersebut. (Hawwa, 2008: 164-165)

         Manusia oleh Allah sudah diberikan potensi kalbu atau hati. Qalbu atau hati yang jernih pada manusia akan menghasilkan suatu keyakinan. Keyakinan yang kuat inilah yang disebut dengan iman. Iman itu akidah, yaitu keyakinan yang kuat atas kebenaran. Secara bahasa akidah adalah apa-apa yang diikat oleh hati (maa 'aqada 'alaihi al-qalbu). Qalbu yang jernih juga akan menghasilkan kebijaksanaan (wisdom) pada seseorang yang memilikinya. (Setyawan, 2004: 25).

         Hati ibarat jendral yang mengatur dan mengomando seluruh anggota badan. Kalau ia baik, maka baiklah anggota badan yang lain. Jikalau ia kotor/rusak maka rusaklah anggota badan yang lain sebagaimana diterangkan Rasulullah Saw. Hati juga bisa diibaratkan sawah tempat bercocok tanam. Ia akan menjadi tempat berbagai macam tanaman yang akan tumbuh subur, menghijau, semua orang akan tertarik untuk selalu melihatnya, apalagi sampai dikasih hasil panen dari sawah itu, ia akan sangat berbahagia. Itulah gambaran hati yang sudah ber-takhalluq, ber-takhliyah atau juga tahkalli–dalam istilah tasawuf atau tazkiyatuz nafs– artinya adalah seseorang yang  hatinya telah dikosongkan dari sifat-sifat tercela. Seperti; nifaq, syirik, dengki, riya, 'ujub, sombong, bakhil, zhalim, suka marah dan lain sebagainya. Disusul kemudian dengan hati yang sudah ber-tahqquq, ber-tahliyah atau tahalli. Artinya adalah seseorang yang hatinya sudah diisi atau dihiasi dengan sifat-sifat yang baik atau akhlak terpuji. Seperti; tobat, ikhlash, jujur, zuhud, tawakkal, mahabbatullah, cemas dan harap, taqwa, wara', syukur, sabar, taslim, ridha, muraqabah dan lain sebagainya. Inilah hati yang penuh dengan sinar Allah. Sehingga ia akan dengan sangat mudah bisa melihat tanda-tanda kebesaran-Nya.

         Namun sebaliknya, hati yang kotor yang dipenuhi dengan sifat-sifat buruk sebagaimana dijelaskan di atas, ia laksana sawah yang kering dan tandus. Jangankan dicocok tanami, melihatnya saja rasanya ada keengganan dalam diri setiap orang. inilah hati yang penuh dengan angkara murka. Ia hitam, dan tidak bisa menangkap tanda-tanda kebesaran-Nya. Ibarat kaca, ia telah berdebu, dan  debunya tidak pernah dibersihkan sehingga meninggalkan noda atau noktah hitam yang sulit dibersihkan.

         Dengan bahasa yang amat indah dan menarik, Harjani Hefni dalam the 7 Islamic daily habits mengambarkan hati sebagai berikut, "Hati tidak statis dalam satu keadaan. Ia dinamis, bergelombang, berpindah-pindah turun naik dan berbolak-balik. Di satu sisi ia memiliki potensi merusak, kasar, keras, sombong, bepenyakit, kejam. Tapi di sisi lain ia punya potensi suka membangun, lembut, teguh, suci, tawadhu' dan berdzikir. Semakin dekat dengan Tuhannya, suara hati semakin jernih, dan segala sepak terjangnya dipandu oleh suara hatinya, dan kebaikanlah yang mendominasi dirinya. Inilah gelombang nafsu muthma'innah". Firman Allah Swt, "Hai jiwa yang tenang. Kemabalilah kepada Thuanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surgaku" (QS. Al-Fajr: 27-30).

         Kalau kita sudah berada di frekwensi ini, maka suara lain, menjadi hilang dan kita tidak tertarik lagi mendengarkan gelombang-gelombang yang lain. Ada kondisi hati yang bertarung antara seruan kepada kebaikan dengan seruan untuk melakukan kejahatan. Dalam pertarungannya kadang-kadang yang menang adalah suara hati, tetapi pada saat yang lain suara hati tertutup oleh suara hawa nafsu. Inilah gelombang nafsu lawwamah, hati yang menegur kita saat melakukan kejahatan. Ada kondisi hati yang suara kejahatannya lebih dominant, selalu mengarahkan untuk berbuat jahat, dan dia patuh dengan suara bisikan itu. Inilah gelombang nafsu amarah bissu'i. Firman Allah, "Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. Yusuf: 53). Semakin jauh dari Penciptanya, suara hati semakin sayup-sayup dan digantikan oleh gelombang lain yang memandunya untuk melakukan perbuatan yang tidak baik". (2008: 7).

            Ada sebuah kisah yang menggambarkan tentang hati yang selalu berprasangka buruk pada orang lain, namun ternyata prasangka itu tidak benar sama sekali. Namanya Hendri, katakanlah begitu. Suatu hari ia pergi ke pasar dekat rumahnya. Setibanya di sana, ia melihat seorang pemuda berambut panjang yang diikat dengan karet sedang membawa tas. Hendri sempat berprasangka kalau ia seorang yang sudah rusak pergaulannya, mungkin pemakai narkoba, pencopet atau lainnya. Kebetulan waktu itu ia sedang memegang uang lumayan banyak. Ia juga memberitahu teman-temannya supaya berhati-hati terhadap pemuda itu. Setibanya di rumahnya, ia ceritakan kepada keluarganya apa yang ia alami. Karena hari itu adalah hari Jum'at, ia lantas pergi ke masjid untuk shalat Jum'at. Setibanya di masjid, ia menempati shaf keempat, dan langsung shalat sunah. Tak lama kemudia adzan dikumandangkan. Sewaktu menoleh ke samping kiri, tanpa ia sangka-sangka pemuda rambut panjang yang ia lihat di pasar berdiri di sampingnya., lantas Hendri menyalaminya. Singkat cerita, tatkala pengurus masjid mengumumkan siapa saja yang bertugas, ternyata khatibnya tidak ada. Lantas pengurus masjid meminta di antara jamaah yang sudah cukup mendalam ilmunya untuk menjadi khatib. Dan subhanallah, Hendri tak menyangka pemuda itu maju ke depan. Jamaah lainpun ikut keheranan. Tak lama kemudian pemuda itu berkhutbah. Terdengar bacaan ayat suci Al-Qur'an dan hadits yang diucapkan dengan fasih, dengan materi ceramah yang menarik dan susunan kata yang amat rapi. Nampak jamaah yang lain pun terkesan, seperti halnya Hendri. Seusai shalat Jum'at, Hendri sengaja menunggu pemuda itu di depan masjid. Hendri lantas berbincang-bincang. Ternyata pemuda itu adalah alumni salah satu Pondok pesantren. Saat itu Hendri merasa sangat berdosa telah berprasangka yang bukan-bukan terhadapnya. (Tarbawi, 2003: 27).

            Dari cerita di atas, dapat disimpulkan bahwa hati adalah merupakan pusat kendali jasad dan akal. Otak sebagai sarana pengembangan akal dan penggerak prilaku. Sedangkan fisik yang menjadi gambaran akal dan suasana hati. Kebaikan dalam diri kita bisa dilihat secara kasat mata melalui jasad dan akal. Potensi jasad dan akal yang tampak lahiriyah sebenarnya digerakkan oleh potensi hati atau qalbu. Jadi, qalbu yang bersih akan menampakkan fisik dan pikiran yang bersih pula. Jasad dan akal hanya akan menuju pada suatu kebaikan jika dikendalikan oleh qalbu yang bersih yang membuat perbuatan kita menjadi bernilai dan berkualitas. (Gymnastiar, 2005: 7).

            Untuk itu, Rasulullah selalu mengajarkan kita untuk selalu berdo'a, " Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami dalam agama-Mu dan ketaatan kepada-Mu. Wallahu a'lam bis showab.

    Sudah dimuat di Media Musirawas, Jum’at Tanggal 30 April 2010 M.
[Baca Selengkapnya]

GENERASI MUDA YANG KUAT DAN JUJUR

0leh: Zuhri
Dosen  Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Azhaar Lubuklinggau
"... Ya Bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungghunya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". ( QS. Al-Qashash: 26).

            Rasanya peringatan hari "Sumpah Pemuda" seperti masih di depan mata kita. Hari di mana semua pemuda Indonesia berikrar bahwa, mereka hanya akan bertanah air satu, yaitu Indonesia. Berbangsa satu, Indonesia, dan berbahasa satu, bahasa Indonesia. Sebagai seorang pemuda yang muslim tentunya kita semua harus bangga dengan ikrar di atas sebagai sebuah kometmen kita (pemuda negeri ini).
            Namun, tentunya tugas kita sebagai seorang pemuda yang muslim, harus bisa memaknai sumpah itu bukan hanya dengan ongkang-ongkang kaki, apalagi menghayal dan malas-malasan, akan  tetapi kita harus bisa membuat sebuah kerja nyata demi agama nusa dan bangsa.  
            Al-Qur'an mengajarkan kita menjadi generasi yang kuat. Allah berpesan agar kaum muslimin menumbuhkan generasi penerus yang kuat. Bahkan Nabi bersabda, " Bahwa Muslim yang kuat itu lebih baik dan lebih disayangi oleh Allah Swt daripada muslim yang lemah". Dari ayat di atas minimal ada dua tolak ukur yang harus dimiliki oleh generasi muda sebagai sebuah kunci agar lahir pemuda yang tangguh, jujur dan bermanfaat.
            Pertama, anak muda yang mempunyai kecerdasan yang tinggi, fisik yang sehat, mempunyai tatakrama dan hormat kepada orang tua, mempunyai dinamika yang tinggi untuk mengembangkan dirinya. Inilah arti dari kuat sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam surat al-Qashas di atas. Pemuda adalah penentu masa depan sebuah bangsa, ia akan menjadi lokomotif penggerak yang amat menentukan. Betul sekali apa yang dikatakan seorang filosof Islam Mustofa Al-Gholayain dalam bukunya "Idhotunun Nasyi'in", "Wahai pemuda, ada di tangan mulah urusan umat serta maju mundurnya".
            Kedua, anak muda yang beriman dan bertakwa. Ini adalah landasan utama, dimana unsur ini akan menjadi unsur penentu bagi berlangsungnya kehidupan sebuah agama dan bangsa. Kalau generasi mudanya adalah generasi yang beriman dan bertakwa, maka insya Allah sebuah bangsa akan maju. Namun sebaliknya, kalau generasi mudanya adalah generasi yang bejat, tidak bertuhan, maka tunggulah tanggal mainnya, bangsa itu akan hilang alias akan menjadi the lost country. Ini adalah arti dari "Al-Amin" sebagaimana Allah jelaskan di atas. Rasulullah bersabda, "Ada tujuh kelompok yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya: ……….pemuda atau remaja yang senantiasa beribadah kepada Allah Ta'ala…….(HR. Bukhari Muslim).  
             Alkisah, ketika pasukan Bani Isra'il yang dipimpin oleh raja mereka Thalut mau berperang untuk yang kesekian kalinya, dan kali ini adalah perang yang menentukan dengan suku 'Amaliq, yang dipimpin oleh raja jalut. Ia adalah seorang yang kuat, perkasa, dan penampilannya menebar rasa takut, sehingga para prajurit Bani Isra'il atau Yahudi pun merasa takut kepadanya. Jalut memakai tutup kepala yang terbuat dari tembaga, sehingga cahaya matahari yang mengenai tutup kepala ini akan memantul, dan ini membuat kilauan yang terlihat oleh orang-orang pasukan Bani Isra'il atau Yahudi, sehingga mereka pun menjadi semakin takut dan ngeri kepadanya.
            Pada zaman dahulu, peperangan antara kedua kelompok belum akan dimulai, kecuali setelah adanya duel antara dua orang pria bersenjata dari masing-masing kedua belah pihak. Maka dimulailah duel anatara pasukan Thalut dan pasukan Jalut. Maka keluarlah Jalut sendiri dari pasukannya, namun tidak ada seorang pun yang berani menghadapinya.
            Di Baitul Maqdis, Dawud, sang pengembala yang bersuara merdu, duduk menanti kehadiran saudara-saudaranya dari medan perang. Mereka telah pergi bersama Thalut untuk memerangi suku 'Amaliq. Lama Daud menanti mereka, hingga akhirnya ia memutuskan untuk membawa sejumlah makanan untuk saudara-saudaranya di medan pertempuran, sekaligus mengunjungi mereka guna menentramkan mereka.
            Daud pun berangkat menemui mereka, menyeberangi sungai Yordania, untuk melakukan sebuah kejutan. Daud meninggalkan kambing-kambingnya dan pergi menemui saudara-saudaranya. Kemudian sampailah ia di medan tempur dan menemukan kedua belah pasukan telah siap berperang.
            Untuk kesekian kalinya Jalut menantang seorang dari kalngan Yahudi berduel dengannya, dan ini merupakan kali pertama Dawud melihatnya. Jalut berkata: "Adakah orang yang akan berperang? Adakah orang yang akan berduel? Ayolah lawan aku, wahai para pengecut!" Orang-orang Yahudi kembali mundur ke belakang dengan hati yang ciut. Tak seorangpun di antara mereka ada yang berani maju.
            Dawud merasakan kemarahan yang sangat, seakan-akan darahnya mendidih di seluruh pembuluh darahnya, dan ia sangat marah kepada kaumnya yang pengecut. Ia kemudian keluar dari barisan Yahudi seperti angin topan. Dawud berteriak: Aku yang akan memerangimu, wahai orang yang teperdaya!" Saudara-saudara Dawud keluar dan berkata kepadanya: "Apakah kamu gila? Ia adalah Jalut. Ia lebih perkasa darimu."
            Dawud menjawab: "Sesungguhnya bersamaku ada Dzat yang lebih perkasa daripada Jalut. Sesungguhnya Allah bersamaku. Aku seoarang mukmin, sedang ia seoarang kafir." Saudara-saudara Dawud berkata: "Wahai Dawud, kembalilah ke kambingmu. Ia akan membunuhmu."
            Thalut kemudian mendatangi Dawud dan berkata: " Duhai bocah, kembalilah ke Baitul Maqdis. Ia adalah orang yang perkasa dan mengusai seni berperang, sedang kamu seorang yang masih  hijau dengan peperangan. Kamu tidak akan sanggup berduel denganya." Dawud menjawab dengan nana tegas: "Sesungguhnya Allah bersamaku."
            Thalut melihat Dawud bersikeras untuk berperang, kemudian berkata kepadanya: "Semoga Allah senantiasa bersamamu, nak. Pergilah; perangilah dia!" Thalut kemudian memakaikan bajunya kepada Dawud. Ia juga memakaikan topi besi ke kepala Dawud dan mengenakan baju besi untuk melindunginya dari tusukan anak panah dan tebasan pedang."
            Dawud  hendak keluar, namun ia meraskan tubuhnya berat. Karena itulah dia melepas tutup kepala dan baju besi itu, kemudian berkata: "Wahan Tuanku, sesungguhnya aku mampu menggunakan ketapel. Setiap kali aku membidiknya kea rah sesuatu, pasti akan mengenainya."
            Daud pun maju ke hadapan Jalut. Ketika Jalut melihatnya seperti anak kecil, ia memandangnya dengan bingun, kemudian berkata: "Kembalilah wahai anak kecil, aku tidak terbiasa membunuh anak bocah." Dawud menjawab penuh marah: "Akan tetapi, akulah yang akan membunuhmu, wahai kafir yang sesat."
            Diam dan hening menutupi medan perang, sementara saudara-saudara Dawud terus memandangi saudaranya dengan penuh kekhawatiran. Di lain pihak, suku 'Amaliq juga terus memandang raja mereka yang akan berduel dengan seorang bocah. Dawud kemudian mengeluarkan sebiji batu dari dalam sakunya, meletakkannya ke dalam ketapel, lalu membidikannya kearah mata Jalut dan mengenai sasarannya dengan tepat. Sehingga Jalut terjatuh. Maka dengan cepat Dawud berlari kepadanya, kemudian menduduki dadanya dan menghunus pedangnya, lalu memenggal lehernya.
            Cerita di atas memberi gambaran buat para generasi muda, bahwa dengan dekatnya kita kepada Allah, maka Dia akan memberikan pertolongan kepada kita. Allah berfirman mengenai kisah di atas, "Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, Kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah, (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa dikehendaki-Nya. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam." (QS. Al-Baqarah: 251).
            Semoga kita –generasi muda- Indonesia, termasuk generasi yang kuat dan mempunyai iman dan takwa. Dengan begitu Allah akan menolong kita. Amien. Wallahu A'lam bi Al-Shawab.
*    Sudah dimuat di Media Musirawas, Jum’at Tanggal 06 Nopember 2009 M.
[Baca Selengkapnya]

Belajar Jujur Dari Muhammad SAW

0leh: Zuhri S.Sos.I, M.Pd.I



“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur .” (At-Taubah: 119).

Muqaddimah
            Bangsa Arab sebelum datangnya Islam adalah bangsa yang buta akan nilai-nilai, buta akan integritas, buta akan budi pekerti dan buta akan norma-norma agama. Meskipun banyak di antara mereka yang mengaku sebagai pengikut Nabi Ibrahim as.
             Tetapi dalam kenyataan sehari-hari, mereka sama sekali tidak mengamalkan ajaran-ajarannya. Intinya, masyarakat Arab sebelum Islam, adalah masyarakat yang peradabannya rendah atau masyarakat jahiliyah.
            Kemudian Allah mengutus Muhammad SAW. untuk meluruskan dan memberikan bimbingan moral kepada mereka atau memberikan pencerahan ruhiyah. Beliau bersabda: "Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan budi pekerti yang baik." (HR. Ahmad).
             Muhammad SAW, memang memiliki sikap mental dan budi pekerti yang luhur. Keluhuran akhlak beliau  tercermin dalam seluruh aspek kehidupannya. Kecintaan terhadap masyarakat yang dipimpinnya menunjukkan kasih sayang  yang tulus tanpa pandang bulu.
            Ketika beliau mendapatkan cemoohan, hinaan, tantangan, ancaman dan pemboikotan dari kaum kafir Quraisy, beliau tidak pernah marah apalagi membenci mereka. Bahkan beliau mendo'akan mereka agar diampuni oleh Allah SWT. Untuk itu Allah memuji beliau lewat firman-Nya, "Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung." (Al-Qalam: 4).

Kejujuran Muhammad SAW.
            Nabi Muhammad SAW. sejak kecil sudah mempunyai perangai yang baik. Meskipun Watsaniyah atau kebiasaan menyembah berhala sudah hampir merata di seluruh jazirah Arab pada saat itu, tetapi belum pernah sama sekali menyembah berhala, dan tidak pernah makan daging binatang yang sengaja disembelih untuk korban bagi berhala-berhala tersebut.
             Beliau sangat membenci berhala-berhala itu, dan selalu berusaha untuk menjauhkan diri dari segala macam bentuk upacara pemujaan terhadap berhala-berhala tadi. Begitu juga tak satupun diatara keluarga beliau yang menyembah berhala.
            Sejak kecil di saat hidup di tengah-tengah Bani Sa'ad, Nabi Muhammad sudah terkenal sebagai orang yang jujur. Kawan-kawan sebayanya dan mereka yang lebih dewasa sangat menyayanginya. Prilaku yang seperti ini terus dipertahankannya hingga beliau menginjak masa remaja dan dewasa, bahkan sampai ketika beliau sudah menjadi Pemimpin Umat Manusia yang sangat agung.
            Pada waktu itu, tak ada sedikitpun perbuatan dan tingkah lakunya yang tercela. Berbeda sekali dengan tingkah laku pemuda-pemuda dan kebanyakan penduduk kota Mekkah, terutama di kalangan para bangsawan, yang gemar berpoya-poya dan bermabuk-mabukan. Karena demikian jujurnya dalam perkataan dan perbuatan, maka sejak remaja beliau telah diberi gelar "Al-Amien" atau orang yang dapat dipercaya.
            Glyn Leonard, dalam bukunya Islam Hermoral and Spritual Valve (1972: 20-21) mengatakan, "Mohammed one of  the greates man that humanity has ever produced. Great not simply as a prophet, but he was true to himself, his people and above all to his God" ( Muhammad adalah salah satu manusia agung yang dilahirkan untuk kemanusiaan. Dia agung bukan karena nabi, akan tetapi dia telah jujur pada dirinya sendiri, jujur pada manusia dan terlebih, pada Tuhan-Nya (Allah).
            Michael H Hart, seorang sejarawan Amerika, setelah melalui riset yang mendalam kemudian tanpa ragu sedikitpun menempatkan Muhammad nomor satu di atas tokoh lainnya di dunia.
            Glyn Leonard dan Michael H Hart, sepakat bahwa keagungan Rasulullah SAW. karena pengaruh akhlaknya yang luar biasa. Jujur pada dirinya sendiri, jujur pada manusia dan terlebih, Muhammad jujur pada tuhan-Nya.
            Kita sadar, bahwa manusia hanya mungkin mampu memanusiakan dirinya sendiri, ketika ia mampu berbuat jujur pada nuraninya atau hati kecilnya. Lantas apakah masih pantas kita menampakkan wajah kemanusiaan kita di hadapan Allah, jika sedikitpun tidak merasa berdosa ketika menghianati atau berbuat tidak jujur pada diri sendiri, ataukah memang seperti yang diprediksikan Allah SWT, bahwa kelak banyak manusia penghuni neraka yang lebih hina dari binatang ternak? Yaitu mereka yang telah menutup mata, telinga dan nuraninya dari kejujuran (QS. Al-A'raf: 179).
             
Buah Kejujuran
            Seorang muslim yang jujur, akan mencintai kejujuran lahir dan bathin. Baik dalam perkatan maupun  perbuatannya. Sebab ia yakin bahwa kejujuran akan membimbingnya ke arah kebajikan, dan kebajikan akan membimbingnya ke arah sorga. Sedangkan bohong adalah sebaliknya. Rasulullah SAW bersabda: "Hendaklah kamu selalu berbuat jujur. Sebab kejujuran membimbing ke arah kebajikan, dan kebajikan membimbing ke arah sorga. Tiada henti-hentinya seseorang berbuat jujur dan bersungguh-sungguh dalam melakukan kejujuran sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang. Dan hindarilah perbuatan bohong. Sebab kebohongan membimbing ke arah kejelekan, dan kejelekan membimbing ke arah neraka. Tiada henti-hentinya seseorang berbuat bohong dan bersungguh-sungguh dalam melakukan kebohongan sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai pembohong." (HR. Bukhari dan Muslim).
            Menurut Syekh Abu Bakar Al-Jazairy, dalam bukunya Minhaajul Muslim (2002:141-142), minimal ada empat buah atau faedah yang akan diperoleh orang yang selalu jujur. Pertama, kelapangan batin dan ketenangan jiwa. Jiwa dan batin berupakan dua hal yang modnya selalu tergantung kepada tingkah laku lahiriyah kita. Kalau hal-hal yang kita lakukan selalu mendengar kejujuran dhomir (batin), maka insya Allah kita akan mendapatkan ketengan batin dan jiwa, kecuali orang-orang yang sudah tidak mempunyai dhomir. Kedua, keberkahan dalam berusaha dan bertambahnya kebaikan. Tentunya setiap individu ingin harta dan semua yang ia miliki berkah. Dalam artian, biarpun sedikit tapi dapat bermanfaat untuk kemaslahatan orang banyak dan menambah taqorrub kita kepada Allah SWT.
             Termasuk di dalamnya masalah jual beli yang harus selalu berlandaskan kejujuran. Rasulullah SAW. bersabda: "Penjual dan pembeli diperbolehkan khiyar (melanjutkan atau membatalkan jual beli) selagi belum berpisah. Apabila keduanya bertindak jujur dan menjelaskan keadaan dagangan yang sebenarnya, maka jual beli itu mendatangkan keberkatan. Dan apabila salah satunya merahasiakan sesuatu atau berbuat curang, boleh jadi dia mendapatkan keuntungan lebih besar, tetapi jual beli itu tidak mendatangkan keberkatan. Sebab sumpah palsu dapat mempercepat lakunya barang dagangan, tetapi menghilangkan keberkatan jual beli." (HR. Bukhari dan Muslim). Ketiga, kemenagan yang sama derajatnya dengan para syuhada. Allah akan mengganjar orang-orang yang jujur -baik ketika sendiri maupun bersama- dengan kemenangan yang sungguh prestisius, yaitu sama derajatnya dengan para syuhada. Syubhanallah. Keempat, selamat dari sesuatu yang tak disenangi/dibenci. Alkisah, ada seorang buronan yang yang minta perlindungan kepada seorang sholeh. Kemudian si buronan berkata,"Sembunyikan saya dari orong-orang yang mencariku." Kemudian orang sholeh itu berkata kepadanya,"Tidurlah di sini", sambil menunjuk sebuah kolam. Ketika orang-orang yang mencari si buronan tadi datang dan bertanya kepadanya, maka orang sholeh itu berkata, " Ini dia di dalam qolam." Dan mereka menyangka telah diejek olehnya, maka berlalulah mereka. Si buronan lolos berkat kejujuran seorang yang sholeh.

Khatimah
            Akhir-akhir ini, kejujuran sepertinya sudah akan menjadi barang mahal dan langka yang akan punah. Tapi patut diberi apresiasi, pemerintah kita -baik Lubuklinggau maupun Musi Rawas- telah melakukan semacam suntikan untuk selalu berbuat jujur. Yakni, dengan meletakkan semacam baleho dan himbawan di setiap kantor pemerintahan. Diikuti dengan diterapkannya beberapa kantin kejujuran di beberapa sekolah, dari sejak SD, SMP dan SMA.Tentu ini merupakan langkah maju.
            Mungkin ada baiknya, sesekali kita mengingat dan memahami lagi  makna ihsan yang disabdakan Rasulullah SAW: "Hendaklah engkau beribadah seakan-akan melihat Allah, dan apabila engkau tidak melihatnya, ketahuilah sesungguhnya Allah melihatmu" (HR. Muslim).
            Tetapi, kalau tetap saja berbuat tidak jujur, masih mau disogok atau menyogok, ah………lantas di manakah Allah?.
* Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Azhaar (STAIA) Lubuklinggau. Makalah sudah dimuat di Media Musirawas Jum’at Tanggal 19 dan 20 Juni 2009 2009 
[Baca Selengkapnya]

Al-Qur'an Pedoman Hidup Dan Kehidupan

0leh: Zuhri 
Dosen  Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Azhaar Lubuklinggau

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)" (QS. Al-Baqarah: 185)

Bulan Ramadhan adalah bulan di mana kebaikan-kebaikan atau keagungan-keagungan serta keistimewaan-keistimewaan terkandung di dalamnya. Dan di antara keagungan atau keistimewaan  bulan tersebut adalah, ia merupakan "Syahrul Huda" (Bulan Turunnya Petunjuk). Ramadhan adalah bulan agung, bulan yang diberkahi, bulan yang mengandung suatu malam yang lebih baik dari seribu malam, yakni malam "Lailatul Qadar". Inilah malam yang penuh berkah, karena Al-Qur'an diturunkan pada malam ini.
Ayat di atas menerangkan kepada kita bahwa terpilihnya bulan Ramadhan sebagai bulan yang khusus untuk menjalankan puasa bukanlah tanpa sebab. Pilihan itu disebabkan Al-Qur'an diturunkan dalam bulan itu. Kita tahu, bahwa Al-Qur'an diturunkan sepotong-sepotong dalam rentang waktu dua puluh tiga tahun, namun dalam ayat di atas disebutkan bahwa Al-Qur'an diturunkan dalam bulan Ramadhan. Maksudnya ialah bahwa wahyu pertama Al-Qur'an diturunkan dalam bulan ini. Dan ini dibenarkan oleh sejarah. Wahyu pertama Al-Qur'an (Surat Al-'Alaq ayat 1-5) diturunkan kepada Rasulullah pada tanggal 17 Ramadhan, sewaktu Beliau berada di gua Hira.
Al-Qur'an sebagai kalamullah, dan sudah sepatutnyalah kaum muslimin menjadikannya sebagai way of life (pedoman hidup dan kehidupan). "Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat." (QS. An-Najm: 1-5).
Al-Qur'an sebagai mukjizat Allah yang diturunkan ke dalam hati Muhammad dan disampaikan secara mutawatir sehingga terpilihara ashalahnya (kebenarannya) sampai kapanpun. Karena Allah SWT selalu menjaganya dari hal-hal dimaksud. "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (QS. Al-Hijr: 9). Abdur Rahman Ibnu Nashir As-Sa'di, dalam buku tafsirnya "Taisiru Al-Karimu Ar-Rahman fie Tafsiri Kalami Al-Mannan" menafsirkan ayat tersebut bahwa, Al-Qur'an yang di dalamnya terkandung berbagai permasalahan hidup dan kehidupan, mengandung dalil-dalil yang jelas, dan di dalamya mengandung peringatan bagi orang yang memintanya. Tatkala diturukannya Al-Qur'an, Allah telah menjaganya dari pencurian Syetan yang terkutuk. Dan sesudah diturunkan, Allah meletakkannya di hati Rasulullah dan hati umatnya yang sholeh. Kemudian Ia pelihara lafadz-lafadz Al-Qur'an dari perubahan, penambahan, pengurangan. Dan juga Allah menjaga perubahan makna. Maka tidak akan pernah terjadi perubahan-perubahan makna walau satu huruf sekalipun sampai hari Akhir kelak. Inilah mukjizat dan nikmat yang besar kepada umat-Nya yang mukmin. Barangsiapa menjaga (menghafal) Al-Qur'an, maka Allah akan menjaga keluarganya dari musuh-musuh-Nya, dan sekali-sekali ia tidak akan pernah mengalami kesulitan.
Dari itu, ada tuntutan-tuntutan sebagai konsekuensi iman kita kepada Al-Qur'an, antara lain: pertama, yang berhubungan erat dengan Al-Qur'an. Yaitu; belajar dan mengajarkan serta membacanya. "Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi." (QS. Al-Baqarah: 121). Memahami dan mentadaburi isinya. Artinya, belajar dan membaca Al-Qur'an saja tidaklah cukup, tapi harus berlanjut dengan pemahaman terhadap isi atau kandungan Al-Qur'an. Firman Allah, "Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penih dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mendapat pikiran." (QS. Shaad: 29). Melaksanakan isi atau kandungan Al-Qur'an. Sebagai seorang muslim yang beriman, maka seharusnyalah kita melaksanakan apa-apa yang menjadi perintah dalam Al-Qur'an. "Dan Al-Qur'an itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacanya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian." (QS. Al-Israa': 106). Kemudian yang terakhir dan ada kaitannya dengan Al-Qur'an adalah menghafal dan memeliharanya.
Kedua, Mentarbiyah diri dengan Al-Qur'an. Manusia diciptakan sebagai khalifah fil ard (sebagai pemimpin di bumi). Allah menciptakan manusia bukan tanpa aturan atau bekal agar manusia itu tetap mengorbit kepada Rabn atau fitrahnya. Maka dari itu, Allah menciptakan perangkat-perangkat lunak (software), Al-Qur'an namanya. Dari itu, agar manusia menjadi khalifah yang baik, ia harus selalu melatih dirinya dengan latihan-latihan yang sesuai dengan apa yang ada dalam Al-Qur'an. Tentunya kita semua sudah mafhum, bahwa untuk menjadi manusia yang baik perlu tahapan-tahapan atau proses yang harus kita lewati. Dan seharusnyalah kita melaksanakan tahapan-tahapan yang Al-Qur'an perintahnkan.
Ketiga, menerima dan tunduk dengan hukum-hukumnya. Tidak ada satu aturan pun yang ada dalam Al-Qur'an bertentangan dengan kodrat kemanusiaan, bertentangan dengan logika sehat manusia, dan bertentangan dengan dasar-dasar kemanusian (human right). Dengan demikian sudah menjadi kewajiban setiap umat muslim yang beriman untuk menerima apapun perintah Al-Qur'an tanpa berfikir terlebih dahulu apakah ayat itu akan menguntungkan pribadi kita? Atau apakah ayat ini tidak akan merugikan kita? Na'udzubillah. "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tetang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (QS. Al-Ahzab: 36).
Keempat, Menyeru orang kepadanya. Al-Qur'an sebagai way of life (pedoman hidup dan kehidupan), tentunya bukan hanya sebatas kita saja (orang-orang yang mengamalkan isinya), tapi lebih dari itu kita semua dituntut untuk menyebarkan atau mendakwa'kan agar apa-apa yang menjadi kandungan dalam Al-Qur'an bisa juga dipakai oleh orang yang mungkin sebelum ini alergi (na'udzubillah) terhadap Al-Qur'an. Kita harus merusaha semaksimal mungkin, mencari cara atau metode bagaimana agar ajaran-ajaran Al-Qur'an bisa dibumi sebarkan dalam kenyataan hidup sehari-hari. "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang telah menetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. An-Nahl: 125).
Kelima, menegakkannya di muka bumi. Sebagai umat yang beriman, kita harus senantiasa berusaha untuk menjadikan Al-Qur'an yang berisi berita dan kabar, hukum dan perundang-undangan, jihad, tarbiyah, pedoman hidup, dan ilmu pengetahuan, tegak menjadi undang-undang yang bukan hanya secara lisan, tapi tertulis dan menjadi acuan hidup seluruh kaum muslimin di muka bumi ini. "Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petuntuk kepa (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)." (QS. Asy-Syuura: 13). Semoga.
*    Sudah dimuat di Media Musirawas, Jum’at Tanggal 11 September 2009 M.

[Baca Selengkapnya]
Your Name :
Your Email: (required)
Your Message: (required)

[Baca Selengkapnya]
/>
Copyright © ZUHRI ABDUL HALIM · Designed By Admin